Sejumlah aktivis Islam dari KAMI berencana bakal membangkitkan Partai Masyumi yang dikomandoi oleh Natsir dulu, dengan gaung nama baru Masyumi Reborn. Tepat pada Milad ke-75 Minggu pertama November lalu, mereka telah mendeklarasikannya di Jakarta. Beberapa tokoh Islam turut mendukung seperti Amien Rais, A. Cholil Ridwan, dan MS Kaban. Sinyalemen kehadiran Masyumi Reborn mengindikasikan bahwa di tataran elite Islam masih terkotak-kotak dan semakin membuka lebar disparitas internal umat Islam di Indonesia. Padahal isu-isu krusial yang tengah dihadapi umat seperti pandemi, SARA, intoleransi, serta kemiskinan cenderung semakin terabaikan oleh akibat tendensi politik segelintir tokoh tersebut.
Masyumi dan Pemilu 1955
Nama Masyumi tercatat telah mewarnai dinamika perpolitikan di Indonesia sejak didirikan pada 7 November 1945. Inisiatif pembentukan Masyumi ini dilatarbelakangi oleh persaingan ideologi pasca kemerdekaan serta jiwa zaman saat itu dimana umat ingin mempertahankan eksistensi basis keislaman yang nasionalistik. Soal-soal itu terwujud dalam tujuannya sendiri “Menegakkan Kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam” (Samsuri, 2004: 13).
Berbagai episode kebijakan pemerintahan telah dilewati, pada faktanya Masyumi menjadi representasi politik Islam di Indonesia yang sering mengalami pertarungan wacana dengan partai besar lainnya. Misalnya menjelang Pemilu 1955, PKI dan PNI mencari dukungan massa menggunakan isu-isu ideologi yang mengatakan bahwa Masyumi akan menghendaki sebuah negara Islam, mengaitkannya dengan Darul Islam, mengubah haluan dasar negara. Sementara Masyumi tetap mengangkat wacana akan membawa pesan-pesan ketuhanan, membendung ajaran komunisme yang jelas bertentangan dengan dasar negara.
Tak dinyana, hasil akhir raupan suara tidak berpihak kepada Masyumi. Pemilu 1955 secara nasional hanya bisa bercokol pada posisi ke-2 di bawah PNI dengan 20,9 persen total suara. Natsir tetap menanggapi dengan sikap besar hati sambil mengatakan bahwa kekalahan semestinya dijadikan pelajaran bahwa keyakinan yang terlalu tinggi, hanya memunculkan ketidakwaspadaan. Dari pernyataannya ini dapat digambarkan, terhadap hal-hal kecil yang berpotensi buruk ke citra partai seharusnya diwaspadai, dicari jalan keluar secepatnya biar tidak merebak dan menganga yang pada akhirnya memperburuk citra partai di kalangan basis massa. Terlebih sebelumnya pada tahun 1952, NU hengkang dari Masyumi.
Situasi pergantian kabinet yang tak menentu pada masa demokrasi liberal, pertarungan ideologi dengan komunisme diwakili oleh PKI yang mendapat payung dari penguasa semakin membuat Masyumi terpuruk. Era Demokrasi Terpimpin (1959-1965) memperparah segala sektor kondisi bangsa di tangan seorang Soekarno. Pada tahun 1960, Masyumi telah berada di ujung tanduk. Dua tahun sebelum dibubarkannya, tokoh sentral Masyumi seperti Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Natsir dari Sumatra terlibat PRRI. Lewat Keppres Nomor 200/1960 tertanggal 17 Agustus 1960, Masyumi diperintahkan untuk bubar.
Fenomena Masyumi Reborn dan Persoalan Umat
Benang merah yang dapat disimpul dari napak tilas perjuangan Masyumi secara umum kemudian memberikan pelajaran penting bagi segenap umat. Walaupun mayoritas memeluk Islam, masyarakat Indonesia tidak sama merata dukungannya terhadap partai berideologi Islam. Sekilas dijelaskan lagi akan dibangkitkannya lagi Masyumi oleh Prawoto Mangkusasmito pada transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru setelah sebagian eks elite Masyumi dibebaskan pada tahun 1966.
Usaha itu, mendapat tantangan keras dari kalangan Angkatan Darat dan sebagian elite partai haluan Kristen/Katolik (Afan Gaffar, 2016). Pola kecurigaan terhadap Masyumi masih sama dengan Orde Lama, dimana dituduh akan mengubah Pancasila dan UUD 1945. Permainan isu-isu ideologi masih memperlemah kekuatan Masyumi. Apalagi orientasi politik Orde Baru yang selalu menyudutkan Islam dan mencap Islam sebagai kelompok “sempalan” yang akan mengubah ideologi negara.
Kebijakan yang diambil oleh segelintir elite Islam itu memperparah kecenderungan mengabaikan tuntutan realistis umat saat ini. Seharusnya sikap akomodatif dikedepankan, biar masalah primer umat dapat dipecahkan bersama-sama. Juga kerinduan bersatu dibawah prinsip demokrasi dan syura (musyawarah mufakat) sebagaimana diperintahkan dalam QS. As-Syura: 38 semakin pupus. Kenyataan era reformasi yang bergulir saat ini, telah mencatat persoalan umat Islam mulai dari gerakan separatis, terorisme berbalut agama, konflik berdarah tidak pernah tuntas dan saat ini sedang dihadapi oleh umat yaitu Pandemi Covid-19 dan intoleransi oknum harus diutamakan. Jika isu ideologis tetap dikumandangkan, bisa dipastikan nasib Masyumi Reborn ini tidak ubahnya seperti pada saat dua rezim sebelumnya.
Apa yang segelintir tokoh elite itu lakukan saat sekarang dengan “menciptakan” partai baru bukanlah solusi yang pas dan sinkron dengan kebutuhan umat Islam Indonesia. Hal itu menandakan semakin terpolarisasinya umat dan terpecah belahnya kongsi Islam pada tataran elite. Satu hal yang dapat dipastikan, umat mengalami kelempangan jalan. Apalagi masa-masa sulit dan hantu resesi ekonomi akibat Pandemi Covid-19 yang semakin mendekati Indonesia telah mengubah watak dan orientasi umat. Umat lebih menaruh harapan dan responsif terhadap hal-hal pragmatis ketimbang konsep-konsep dilematis serba kaku. Dua dekade terakhir mencatat, pencapaian suara partai Islam dalam setiap Pemilu belum optimal dan masih kalah jauh dibanding suara parta-partai sekuler-liberal secara nasional (Republika, 2018). Pada akhirnya yang ada timbul sebuah pertanyaan, akankah Masyumi Reborn ini mengalami hal sama dengan Partai Islam lainnya ataukah mampu berjaya ke depan?
Discussion about this post